Selasa, 13 April 2010

SOFTNEWS

NONI FEBRINA SAETBAN ( 153080085 / G )

BABARSARI, “KOTA” PEREKONOMIAN BAGI MASYARAKAT KECIL

Babarsari, begitulah nama daerah yang menjadi salah satu bagian dari kabupaten Sleman. Daerah ini dulu dikenal dengan nama Jarakan, yang berasal dari kata jarak dalam bahasa Jawa berarti ”kasar atau tidak sopan”, lalu di ubah dengan nama Babarsari yang berasal dari istilah Jawa yaitu babar dadi sari yang berarti ”menjadi lebih baik”.

Dulu daerah Babarsari ini merupakan area persawahan yang luas, kini menjadi lahan pemukiman penduduk yang padat dengan segala aktifitas pendidikan maupun perekonomiannya. Ketika memasuki wilayah ini, terlihat beberapa universitas dan sekolah ternama yang sangat mendukung perekonomian disekitarnya.

Dulunya penduduk asli Babarsari umumnya bekerja sebagai petani. Mereka mengolah persawahan yang terletak sepanjang wilayah Babarsari hingga daerah Janti. Penduduk beserta pemukiamannya pun jarang di jumpai, karena mereka hanya menempati sebagian kecil saja dari wilayah Babarsari. Hasil-hasil pertanian mereka pun sebagian besar dijual di pasar Beringharjo.

“Saya sudah berjualan disini selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1997 sampai sekarang, sebelum krisis moneter. Dulu masih belum ada gedung-gedung seperti ini, cuma ada satu, yang ada hanya persawahan saja”, jelas ibu Parmi penjual gorengan di wilayah tersebut. Sejak bangunan-bangunan tinggi itu dibangun, Babarsari menjadi tempat yang banyak diminati oleh masyarakat sekitar Yogyakarta, baik dalam maupun luar. Didukung lagi oleh lokasi yang dikelilingi berbagai perguruan tinggi swasta ternama, tentu saja lokasi ini paling cocok dan strategis untuk membangun berbagai macam usaha.

Mereka diuntungkan dengan kehadiran mahasiswa di daerah ini karena usaha-usaha tersebut sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Semakin banyaknya mahasiswa yang berdatangan, masyarakat makin dituntut untuk meningkatkan kreatifitas mereka dalam berwirausaha. Tuntutan akan kreativitas para pedagang yang berjualan di Babarsari ini pun meningkat. Ada para pedagang yang kehilangan para pelanggannya karena sepinya pengunjung dan persaingan yang ketat memutuskan untuk berhenti. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat bertahan adalah dengan ikut mengembangkan kreativitas usaha mereka. ”Dulu saya mematok harga tiap gorengan saya itu seharga Rp. 100,-. Kalau sekarang saya enggak bisa lagi berjualan dengan harga seperti itu. Bahan – bahan untuk membuat jajanan saya sudah semakin naik, tepung terigu saja sudah mencapai Rp. 7000,- per kilonya”, ujar Ibu Parmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar